Tuesday 27 September 2011

Menjadi Penyapu Daun dan Pemungut Cengkeh

Dia lahir, tumbuh dan dibesarkan di lereng gunung, tiada sawah dan tiada tanaman padi disana, karena yang ada adalah Perkebunan Cengkeh, Kopi, Nanas dan berbagai macam kayu hutan.
Ketika musim kemarau dan bediding tiba biasanya diiringi dengan panen cengkeh. Kawasan tempat tinggalnya adalah kawasan Perkebunan cengkeh, hampir setiap warga memiliki perkebunan cengkeh kala itu. Begitupun kakek dan neneknya, mereka juga memiliki kebun cengkeh yang dibawahnya ditanami buah nanas, hanya menyisakan kotak-kotak kecil selebar teduhan pohon cengkeh saja. Ini bukan tanpa sengaja, tapi karena bertujuan untuk mempermudah menyapu daun cengkeh yang gugur untuk dijual. Ketika saya masih kecil harga daun cengkeh ini satu kg hanya Rp300.00, hem bahkan tidak cukup sekedar untuk membeli kerupuk uyel cap udang di warung sebelah rumah, karena untuk sebungkus kerupuk uyel harganya adalah Rp500.00.
Karena hasil daun yang tidak seberapa nenek menyapu daunnya seminggu sekali, dan dialah yang bertugas membantu nenek menyapu dan mengumpulkan daun cengkeh tersebut, kemudian memasukkannya kedalam sak bekas pupuk Pusri.
Karena musim cengkeh, maka ketika menyapu daun, dia juga harus jeli memungut buah cengkeh yang gogrok/terjatuh sebiji-sebiji itu. Dia terus menyapu dan sesekali menjongkok ketika matanya melihat buah cengkeh.
Jika melihat banyak cengkeh berjatuhan nenek langsung memanjat pohon, kata nenek kalau dibawah banyak yang gugur berarti diatas banyak yang tua juga dan siap dipanen.
Dan sesekali juga saya ikut memanjat dengan berkalungkan kemploh(kantong terigu yang diberi tali dan dibentuk seperti kantong). Diatas pohon dia dan nenek tidak hanya memetik cengkeh, tapi sekaligus menurunkan ranting-ranting kecil yang bisa dibawa pulang sebagai kayu bakar.
Setelah dirasa cengkeh yang siap panen kala itu habis, dia dan nenek kembali menyapu dan mengumpulkan yang dibawah dengan membawa besek(ayaman bambu).
Saat-saat seperti inilah dia merasa beruntung, karena bisa membantu mencari uang dengan menyapu daun juga memungut cengkeh gugur.
Sesampainya dirumah cengkeh-cengkeh tadi dijemur, dan daun bisa langsung dijual. Dan setelah cengkeh kering nenek akan menimbunnya, karena semakin lama cengkeh maka harganya semakin mahal. 
Ketika nenek tidak punya uang dia sering mendapat tugas untuk menjual cengkeh sekilo dua kilo saja di toko yang jaraknya sekitar 3km, kali ini dia tidak berjalan kaki akan tetapi menaiki sepeda onthel. Kebetulan toko tersebut juga menjual sembako, dan biasanya nenek menyuruhnya barter cengkeh dengan beras dan sembako lain, dan menyisakan sedikit uang untuk kebutuhan sehari-hari juga untuk uang saku sekolahnya.
Walaupun dia bisa membantu mencari uang nenek tidak pernah menambah uang saku sekolahnya, nenek tetap mengajari cara hidup berhemat.Uang sakunya tetap Rp250.00/hari. Dan nenek akan memberinya selembaran uang seribu rupiah setiap empat hari sekali. Ternyata dia tidak menjajakan semua uangnya karena sisanya diam-diam dia akan menabungnya dengan cara nyelengi di celengan ayam yang terbuat dari tanah liat, bahkan diam-diam terkadang dia memasukkan uang recehnya kedalam bumbung bambu yang dilubangi di kandang kambing. Itulah caranya menyimpan uang, uang ini nanti akan digunakan untuk membeli buku-buku pelajaran tambahan, walau sedari kecil dia selalu mendapatkan beasiswa, akan tetapi beasiswa tersebut terkadang tidak cukup untuk biaya sekolahnya, itu berarti harus merogoh kantong sendiri. Terkadang juga celengan tersebut akan diambilnya ketika dia harus membayar SPP.

1 comment:

  1. assalamualaikum wrwb,,menyentu banget bagiku, ceritanya bikin aku mengingatkan lg akan bumbu2 perjuangan ku dalam menggapai cita2 ini..,, makasih ya atas berbaginya..,,salam kenal dari awak..,, oh y kapan2, mampirlah ke blog awak?!!..

    ReplyDelete