Tuesday 27 September 2011

Mata Air dan Kehidupannya

Dia hidup di kaki gunung, dan di desanya tidak dijumpai satupun sumur. Selama ini penduduk hidup dari air mata air gunung Kelud yang didistribusikan ke pedesaan oleh PDAM(Perusahaan Daerah Air Minum).
Hujan begitu deras, dan pipa-pipa air yang menuju desanya rusak, sehingga air tidak bisa mengalir ke desanya. Syukurlah satu km lebih dari rumahnya ada Sumber mata air juga, akan tetapi sumber ini airnya tidak bisa disalurkan kerumah-rumah warga, dan warga yang menhendaki air harus datang dan mengambilnya kesana.
Pagi itu kalender menunjukkan tanggal merah, hari itu adalah hari minggu.Tiba-tiba kakek demam dan masih tertidur di ranjang, dia menyiapkan teh panas juga merebus telur kampung buat kakek. Setelah itu dia bergegas ke dapur untuk membantu nenek memasak. Ketika hendak mengambil air untuk mencuci piring dia terkejut melihat air di Gentong yang tinggal setengah, sedangkan hari itu adalah jadwalnya mencuci baju karena hari libur, belum lagi pagi itu mereka belum siap memasak, beras belum lagi ditanak, masih jadi beras karon. Sedangkan kakek sedang sakit, tidak mungkin juga pergi ke Sumber untuk mencari air. Tiba-tiba dia terfikir untuk mencuci baju di sumber sekaligus mencari air, menggantikan tugas kakek, karena hanya dia cucu yang berada dirumah kala itu.
Setelah mendapat izin dari nenek dia bersiap-siap. Memasang Cangklek ke atas boncengan sepeda mini birunya, kemudian meletakkan dua jirigen diatas cangklek.
Kakek sempat melarang, karena pada masa itu dia masih duduk di bangku kelas lima SD, masih terlalu kecil untuk mencari air ke sumber, apalagi dia seorang perempuan.Lama kelamaan kakek mengalah dan mengizinkannya pergi.
Berangkatlah dia seorang diri ke sumber, dengan dua jirigen dibelakang dan baju kotor yang dibungkus kain di keranjang depan.
Karena jalan menanjak berangkatnya dia harus rela menuntun sepeda agak jauh. Sesampainya di sumber dia cepat-cepat mencari tempat untuk mencuci baju, dan segera membilasnya, setelah itu mengambil jirigen, membersihkannya dan memasukkannya kedalam sumber.
Dengan sekuat tenaga dia mengangkat jirigen dan membawanya ke tempat parkir sepedanya.Kemudian membawa jirigen satunya lagi untuk diisi air, setelah jirigen kedua penuh dia segera menyusunnya di cangklek dan membawa baju-baju basahnya di ranjang depan. Dia merasa puas hati, karena telah berhasil mengangkat jirigen tersebut, tinggal membawanya pulang saja. Alhamdulillah jalan untuk pulang adalah menurun sehingga tidak diperlukan banyak tenaga untuk membawa dua jirigen dan baju-baju basah itu.
Sesampainya dirumah nenek membantunya mengangkat jirigen, dan menuang air kedalam gentong dapur, ternyata dua jirigen belum cukup untuk memenuhi gentong, dan dia harus kembali ke sumber untuk mengambil air.Apalagi kamar mandipun airnya kosong, sedangkan kakek dan neneknya belum sempat mandi hanya mencuci muka dan menggosok gigi saja.
Nenek menjemurkan pakaiannya di sebelah rumah, dan diapun kembali ke sumber untuk mengambil air. Diperjalanan dia menitikkan air mata, bukan merasa kelelahan ataupun tidak ikhlas melakukannya, tapi dia teringat dengan kakeknya yang selama ini berjuang untuk memberikan penghidupan padanya, berpeluh keringat mencangkul mencari rumput untuk sapi, kambing,dan masih harus mencari air jika pipa pusat rusak.Ahh semoga Tuhan membalas semua jasa-jasanya.
Pagi itu dia lima kali bolak balik ke sumber untuk mencari air, sampai akhirnya kakek memintanya berhenti. Menjalani hidup seperti itu dia hanya tersenyum, tak ingin terlalu sering mengeluh, dia masih bersyukur, di sisi lain ketika kelahirannya tidak diinginkan masih ada kakek dan neneknya yang dengan ikhlas menjaganya. Inilah hidup kesempurnaan hanyalah milik Tuhan.

No comments:

Post a Comment